Sabtu, 18 Januari 2014

IMAM.. Kalian keluargaku di perantauan ini :)

IMAM (Ikatan Mahasiswa Anging Mammiri)











kalau aku bisa meminta
biarkan aku ada diantaramu
atau dalam benak-benak kalian
setidaknya kalian ada...
aku ada...


?




Aku ingin berkata dalam diam
apa kau bisa mendengarnya ?
entah kau bisa rasakannya ?
enggan kau bisa pahaminya ?

aku ingin berucap saat larik terbawa angin
apa pesanku bisa kau terima ?
entah kataku bisa kau jamah ?
enggan jeritku bisa kau baca ?

udara malam di perantauan
sampaikan...
pada mimpinya
pada hidupnya

Bintaro, 18/01/14

Kamis, 16 Januari 2014

KATA




Kalau hujan pun dapat berbicara sejenak
Pada angin yang menghempas di benak-benak

Kemana puisi akan dibawanya menggenang
Kalau bukan di tengah waktu menjelang
Atau di perempatan jalan temaram
Dalam kata sungguh berkumpul malam

Kalau petir pun dapat berbicara sedikit
Pada udara yang menghelai mimpi-mimpi

Pada apa suara bertemu sajak
Lelah penat pun tak digubris telak
Langkah hening malah terngiang
Di balik benak terpisah renggang

Aku kata, kamu kata
Entah sampai kapan
Kita dipertemukan...

Bintaro, 2014

Selasa, 07 Januari 2014

Pesan Bunda di awal Agustus



Malam ini langit cerah sama seperti kemarin. Tidak ada awan, tidak ada asap, atau apapun yang dapat menghalangi pandanganku ke atas. Yang ada Cuma sebuah lampu besar Bundar yang kusebut bulan dan anak-anak mungilnya yang bermanjaan di sekelilingnya. Bintang gemintang jelas terlihat berkilau, menggantung di langit malam. Sesekali ku lihat cahayanya mengedip ke arahku. Apa dia sedang menggodaku ? haha... biarlah. 

Sudah hampir semalaman aku terpaku di depan monitar laptopku. Aku begadang lagi hari ini, tapi bukan sekedar menonton film atau bermain game kesukaanku seperti malam-malam kemarin. Bukan. 

Aku menguap sesekali. Kantuk ku sepertinya sudah memberontak. Tapi aku tak mau tertidur dulu. Jam dinding mengingatkanku bahwa saat ini hari telah berganti. Hari kemarin sudah kulewati, tentunya tidak ada yang spesial. Hanya seharian di kamar berkutat dengan game-game kesukaanku dan ratusan slide film.

Pangumuman SBMPTN harus aku lihat sebelum ku terlelap. Dan aku ingin namaku ada di daftar siswa-siswa yang lulus, tentunya di perguruan tinggi idamanku. Aku sudah belajar dengan sangat keras. Setiap bangun tidur, siang, maupun malam kuhabiskan waktuku dengan belajar. Kuhabiskan satu per satu soal-soal SBMPTN tahun-tahun sebelumnya. Aku yakin dengan usaha yang kulakukan. Aku yakin dengan doa yang kupanjatkan dalam tiap solat dan dzikirku. Aku yakin bisa lulus. 

Aku harus lulus. Akan ku jadikan kelulusanku ini sebagai hadiah ulang tahun untuk Bunda. 

Aku mengambil bingkai foto di samping meja belajarku. Aku pandangi tiap detil dalam gambar itu. Ada aku yang masih 13 tahun bersama Bunda dan kedua adikku, Indra yang saat itu masih 5 tahun dan Winda di gendongan Bunda. Wajah mereka berempat tersenyum manis ke arahku. Bahagia sekali mereka saat itu. Tidak terlihat sedikitpun kesedihan dalam mata mereka berempat. Kenangan yang indah.

Aku memperhatikan lagi. Di foto itu tidak ada ayah. Aku tidak tahu persis bagaimana wajah ayah. Kata Bunda, ayah meninggal saat aku masih sangat kecil. Saat aku masih belum bisa merangkak. Rumah kami pernah terbakar kata Bunda , dan tidak ada satupun yang tersisa. Termasuk foto ayah. Wajahnya samar-samar kuingat, ingatanku sewaktu bayi tidak bisa menggambarkan wajah ayah secara sempurna.

Ku letakkan foto itu, dan ku ambil foto yang satunya lagi. Ada seorang wanita di foto itu. Aku menatapnya lekat-lekat. Sepasang mata, gurat alis, lekukan dagu, dan semburat senyum. Bunda. Senyum yang tak dapat kulupakan. Senyum yang dapat menghilangkan segala beban pikirku. senyum yang selelu saja kurindukan bahkan saat aku tidak melihatnya untuk beberapa jam.

Satu-satunya wanita dalam hidupku yang sangat ku kagumi. Wanita yang selalu tegar menjalani kehidupan dengan ketiga anaknya. Sepeninggal ayah, Bunda merawatku dan kedua adikku. Hanya sendirian. Aku juga bingung bagaiman Bunda begitu hebatnya membesarkan kami dengan hanya seorang diri. Tidak pernah sekalipun kulihat wajahnya muram ataupun kudengar dia mengeluh. Yang ada hanya senyuman manisnya yang menyambutku ketika pulang sekolah, ketika makan malam, dan sebelumku terlelap di tiap malamnya.

Tapi, pernah sekali tak sengaja aku mengintip dari balik kamar Bunda. Bunda sedang mengadahkan tangannya, berdoa sambil terisak. Mulutnya berkata-kata dalam diam. Aku tak tahu mengapa Bunda menangis saat itu. Apakah mungkin dia lelah dengan hidupnya ? ataukah itu adalah air mata bangga karena anak-anaknya sudah tumbuh besar ? aku tidak tahu pasti. Tapi aku yakin, itu adalah air mata bangga. Tak mungkin Bunda menangis sedih.

Bunda dan dua adikku pasti sudah tertidur lelap di kamar sebelah. Malam sudah semakin larut dan aku masih terjaga dalam penantianku. “Pasti beberapa menit lagi”batinku.

Sudah jam 2 tepat. Pengumumannya ternyata sudah ada. Segera ku masukkan nomor peserta dan tanggal lahirku pada kolom yang sudah disediakan. Jantungku berdegup lebih cepat, entah mengapa koneksi internet berjalan lebih lambat rasanya. 

Dan ternyata...

“Bunda... Aku lolos di perguruan tinggi idamanku” Aku memeluk Bunda dari belakang. Pagi ini Bunda sedang membuatkanku roti bakar dan selai kacang kesukaanku. 

“Alhamdulillah... jadi kamu ambil ???” Bunda berbalik ke arahku. Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya dengan raut penuh kegembiraan. Tapi kulihat ada kegelisahan di wajah Bunda.

“iyalah Bunda... Bunda juga tahu kan aku udah lama mengidam-idamkan bisa kuliah di situ”
Bunda tersenyum padaku. “Baiklah kalau gitu nak,, belajar baik-baik yah disana. Jangan kecewain Bunda”

Aku mencium tangan Bunda. Memeluknya dan segera berlari kegirangan ke kamar. Akhirnya impian ku sebentar lagi dapat kuwujudkan. Tidak sia-sia juga waktu dan usaha yang sudah kukorbankan untuk belajar. Tuhan memang maha mendengar doa hambanya.

Tapi...

Aku masih bingung dengan ekspresi Bunda tadi. Apa Bunda tidak senang kalau aku kuliah ditempat itu ??? aku teringat tentang apa yang perbah Bunda katakan padaku seminggu yang lalu. Bunda bertanya padaku apkah akan aku mabil jika aku diterima di tempat itu. Aku mengiyakan dan ekspresi Bunda sama dengan yang tadi.

“Bunda tidak pernah melarang kamu untuk kuliah dimanapun, tapi kamu harus ingat kedua adikmu. Bunda sudah tua. Bunda tidak yakin bisa merawat adik-adikmu saat kamu tidak ada di samping Bunda” 

***

Sebulan kemudian. Dengan izin Bunda dan kedua adikku, aku resmi jadi mahasiswa di universitas idamanku. Jaraknya sangat jauh dari tempat tinggalku. Butuh berjam-jam bahkan berhari-hari perjalanan bus ke sana. Bunda berpesan untukku agar selalu menelpon dan memberi kabar padanya. Dan itu yang aku lakukan tiap hari.

Sehabis kuliah aku menelpon Bunda. Kutanyakan kabarnya, kabar kedua adikku, pekerjaan Bunda, dan macam-macam pertanyaan lainnya. Ku pastikan keadaan mereka baik-baik saja, dan kupastikan mereka tahu keadaan dan kuliahku disini juga baik-baik saja. Ada rasa kangen tiap ku dengar suara Bunda. Aku rindu senyuman dan pelukan Bunda. Ahh... aku benar-benar tidak akan mengecewakan mereka.

“rin... Bunda pamit dulu ya. Beras di rumah sudah abis. Bunda mau pergi beli dulu yah. Assalamu alaikum”
“mw pergi beli dimana Bunda ???”
“tuuut...” panggilan terputus.
“wa alaikum salam” 

Tidak biasanya Bunda seperti ini. Tiap Bunda akan pergi ke suatu tempat pasti selalu memberitahuku tempat yang dia tuju. Aku menepis pikiran aneh dari otakku.
Ponselku berdering. Indra, adik pertamaku.
“Kak... Kak.. Bunda kecelakaan !!!” teriak indra dari ujung sana.
Aku segera pulang ke rumah.
***
Bunda kecelakaan saat mengendarai motornya ke warung. Sebuah mobil menyerempetnya dan Bunda terjatuh. Dari arah lain, sebuah motor menabrak Bunda dan motornya. Aku dan kedua adikku sangat sedih. Seminggu aku di rumah dan tak ingin rasanya kembali kuliah. Aku masih ingin merasakan sedikitpun sisa-sisa keberadaan Bunda di rumah ini.

Tidak mau mengecewakan Bunda. Awal agustus aku kembali kuliah. Tapi jiwaku terasa masih mengendap di rumah. Aku kangen senyum Bunda.

Ku telpon Tante Tiara. Tante Tiara yang sekarang merawat kedua adikku.
“ya rin, kami disini baik-baik saja” aku baru sadar suara Tante Tiara hampir mirip dengan suara Bunda.
“alhamdulillah klo gitu Tante. Salam buat Indra dan Winda yah” aku bersiap mengakhiri telepon.
“rin..”
“iya Tante..”
“aku titip kedua adikmu yah. Jaga mereka baik-baik” suara di ujung sana membuatku kaget.
“maksudnya Tante ?”
“tuuuuut....”
Ada apa dengan Tante Rani ? tapi, suara tadi seperti suara Bunda. Aku menelpon lagi.
“iya kak... ada apa ?” indra mengangkat telepon.
“mana Tante Tiara ?”
“Tante Tiara dari tadi  tidur di kamarnya kak, ini ponselnya aku ambil di meja ruang tengah”
Aku menutup teleponnya. Bunda ? itu suara Bunda? Benar. Tadi itu bukan Tante rani, itu Bunda. Tapi apa benar itu Bunda ? Aku pusing.

Apa maksud perkataan Bunda tadi ? 

Apa Bunda ingin aku ada di samping adik-adikku ? Bunda ingin aku yang menjaga mereka? Firasatku berkata benar itu pesan dari Bunda.  Tapi akal sehatku tidak mau mengalah dengan hal gaib seperti itu. Bunda sudah tenang di sisi-Nya. Untuk apa Bunda kembali dan mengatakan itu padaku. 

Tiga hari aku berpikir. Dan fine, aku pulang sekarang. Tante dan adik-adikku sempat kaget dengan kedatanganku. Kujelaskan semuanya pada mereka. Tentang pesan yang Bunda sampaikan padaku. Meski tidak percaya, tapi mereka memaklumi.

Maka jadilah sekarang. Aku kuliah di universitas tidak jauh dari rumahku. Menjadi sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa sekaligus asisten dosen. Dan aku tidak akan pernah lupa pesan Bunda di awal agustus. Dengan segenap raga dan jiwaku, kedua adikku ada dalam penjagaan dan lindunganku. Aku sayang Bunda.