Malam ini
langit cerah sama seperti kemarin. Tidak ada awan, tidak ada asap, atau apapun
yang dapat menghalangi pandanganku ke atas. Yang ada Cuma sebuah lampu besar Bundar
yang kusebut bulan dan anak-anak mungilnya yang bermanjaan di sekelilingnya.
Bintang gemintang jelas terlihat berkilau, menggantung di langit malam.
Sesekali ku lihat cahayanya mengedip ke arahku. Apa dia sedang menggodaku ?
haha... biarlah.
Sudah hampir
semalaman aku terpaku di depan monitar laptopku. Aku begadang lagi hari ini,
tapi bukan sekedar menonton film atau bermain game kesukaanku seperti
malam-malam kemarin. Bukan.
Aku menguap
sesekali. Kantuk ku sepertinya sudah memberontak. Tapi aku tak mau tertidur
dulu. Jam dinding mengingatkanku bahwa saat ini hari telah berganti. Hari kemarin
sudah kulewati, tentunya tidak ada yang spesial. Hanya seharian di kamar
berkutat dengan game-game kesukaanku dan ratusan slide film.
Pangumuman
SBMPTN harus aku lihat sebelum ku terlelap. Dan aku ingin namaku ada di daftar
siswa-siswa yang lulus, tentunya di perguruan tinggi idamanku. Aku sudah
belajar dengan sangat keras. Setiap bangun tidur, siang, maupun malam
kuhabiskan waktuku dengan belajar. Kuhabiskan satu per satu soal-soal SBMPTN
tahun-tahun sebelumnya. Aku yakin dengan usaha yang kulakukan. Aku yakin dengan
doa yang kupanjatkan dalam tiap solat dan dzikirku. Aku yakin bisa lulus.
Aku harus
lulus. Akan ku jadikan kelulusanku ini sebagai hadiah ulang tahun untuk Bunda.
Aku mengambil
bingkai foto di samping meja belajarku. Aku pandangi tiap detil dalam gambar
itu. Ada aku yang masih 13 tahun bersama Bunda dan kedua adikku, Indra yang
saat itu masih 5 tahun dan Winda di gendongan Bunda. Wajah mereka berempat
tersenyum manis ke arahku. Bahagia sekali mereka saat itu. Tidak terlihat
sedikitpun kesedihan dalam mata mereka berempat. Kenangan yang indah.
Aku
memperhatikan lagi. Di foto itu tidak ada ayah. Aku tidak tahu persis bagaimana
wajah ayah. Kata Bunda, ayah meninggal saat aku masih sangat kecil. Saat aku
masih belum bisa merangkak. Rumah kami pernah terbakar kata Bunda , dan tidak
ada satupun yang tersisa. Termasuk foto ayah. Wajahnya samar-samar kuingat,
ingatanku sewaktu bayi tidak bisa menggambarkan wajah ayah secara sempurna.
Ku letakkan
foto itu, dan ku ambil foto yang satunya lagi. Ada seorang wanita di foto itu.
Aku menatapnya lekat-lekat. Sepasang mata, gurat alis, lekukan dagu, dan
semburat senyum. Bunda. Senyum yang tak dapat kulupakan. Senyum yang dapat
menghilangkan segala beban pikirku. senyum yang selelu saja kurindukan bahkan
saat aku tidak melihatnya untuk beberapa jam.
Satu-satunya
wanita dalam hidupku yang sangat ku kagumi. Wanita yang selalu tegar menjalani
kehidupan dengan ketiga anaknya. Sepeninggal ayah, Bunda merawatku dan kedua
adikku. Hanya sendirian. Aku juga bingung bagaiman Bunda begitu hebatnya
membesarkan kami dengan hanya seorang diri. Tidak pernah sekalipun kulihat
wajahnya muram ataupun kudengar dia mengeluh. Yang ada hanya senyuman manisnya
yang menyambutku ketika pulang sekolah, ketika makan malam, dan sebelumku terlelap
di tiap malamnya.
Tapi, pernah
sekali tak sengaja aku mengintip dari balik kamar Bunda. Bunda sedang
mengadahkan tangannya, berdoa sambil terisak. Mulutnya berkata-kata dalam diam.
Aku tak tahu mengapa Bunda menangis saat itu. Apakah mungkin dia lelah dengan
hidupnya ? ataukah itu adalah air mata bangga karena anak-anaknya sudah tumbuh
besar ? aku tidak tahu pasti. Tapi aku yakin, itu adalah air mata bangga. Tak
mungkin Bunda menangis sedih.
Bunda dan dua
adikku pasti sudah tertidur lelap di kamar sebelah. Malam sudah semakin larut
dan aku masih terjaga dalam penantianku. “Pasti beberapa menit lagi”batinku.
Sudah jam 2
tepat. Pengumumannya ternyata sudah ada. Segera ku masukkan nomor peserta dan
tanggal lahirku pada kolom yang sudah disediakan. Jantungku berdegup lebih
cepat, entah mengapa koneksi internet berjalan lebih lambat rasanya.
Dan
ternyata...
“Bunda... Aku
lolos di perguruan tinggi idamanku” Aku memeluk Bunda dari belakang. Pagi ini Bunda
sedang membuatkanku roti bakar dan selai kacang kesukaanku.
“Alhamdulillah...
jadi kamu ambil ???” Bunda berbalik ke arahku. Aku melepaskan pelukanku dan
menatapnya dengan raut penuh kegembiraan. Tapi kulihat ada kegelisahan di wajah
Bunda.
“iyalah Bunda...
Bunda juga tahu kan aku udah lama mengidam-idamkan bisa kuliah di situ”
Bunda
tersenyum padaku. “Baiklah kalau gitu nak,, belajar baik-baik yah disana.
Jangan kecewain Bunda”
Aku mencium
tangan Bunda. Memeluknya dan segera berlari kegirangan ke kamar. Akhirnya
impian ku sebentar lagi dapat kuwujudkan. Tidak sia-sia juga waktu dan usaha
yang sudah kukorbankan untuk belajar. Tuhan memang maha mendengar doa hambanya.
Tapi...
Aku masih
bingung dengan ekspresi Bunda tadi. Apa Bunda tidak senang kalau aku kuliah
ditempat itu ??? aku teringat tentang apa yang perbah Bunda katakan padaku
seminggu yang lalu. Bunda bertanya padaku apkah akan aku mabil jika aku
diterima di tempat itu. Aku mengiyakan dan ekspresi Bunda sama dengan yang
tadi.
“Bunda tidak
pernah melarang kamu untuk kuliah dimanapun, tapi kamu harus ingat kedua
adikmu. Bunda sudah tua. Bunda tidak yakin bisa merawat adik-adikmu saat kamu
tidak ada di samping Bunda”
***
Sebulan kemudian. Dengan izin Bunda
dan kedua adikku, aku resmi jadi mahasiswa di universitas idamanku. Jaraknya
sangat jauh dari tempat tinggalku. Butuh berjam-jam bahkan berhari-hari
perjalanan bus ke sana. Bunda berpesan untukku agar selalu menelpon dan memberi
kabar padanya. Dan itu yang aku lakukan tiap hari.
Sehabis kuliah aku menelpon Bunda.
Kutanyakan kabarnya, kabar kedua adikku, pekerjaan Bunda, dan macam-macam
pertanyaan lainnya. Ku pastikan keadaan mereka baik-baik saja, dan kupastikan
mereka tahu keadaan dan kuliahku disini juga baik-baik saja. Ada rasa kangen
tiap ku dengar suara Bunda. Aku rindu senyuman dan pelukan Bunda. Ahh... aku
benar-benar tidak akan mengecewakan mereka.
“rin... Bunda pamit dulu ya.
Beras di rumah sudah abis. Bunda mau pergi beli dulu yah. Assalamu alaikum”
“mw pergi beli dimana Bunda ???”
“tuuut...” panggilan terputus.
“wa alaikum salam”
Tidak biasanya Bunda seperti
ini. Tiap Bunda akan pergi ke suatu tempat pasti selalu memberitahuku tempat
yang dia tuju. Aku menepis pikiran aneh dari otakku.
Ponselku berdering. Indra, adik
pertamaku.
“Kak... Kak.. Bunda kecelakaan
!!!” teriak indra dari ujung sana.
Aku segera pulang ke rumah.
***
Bunda kecelakaan saat
mengendarai motornya ke warung. Sebuah mobil menyerempetnya dan Bunda terjatuh.
Dari arah lain, sebuah motor menabrak Bunda dan motornya. Aku dan kedua adikku
sangat sedih. Seminggu aku di rumah dan tak ingin rasanya kembali kuliah. Aku
masih ingin merasakan sedikitpun sisa-sisa keberadaan Bunda di rumah ini.
Tidak mau mengecewakan Bunda.
Awal agustus aku kembali kuliah. Tapi jiwaku terasa masih mengendap di rumah.
Aku kangen senyum Bunda.
Ku telpon Tante Tiara. Tante Tiara
yang sekarang merawat kedua adikku.
“ya rin, kami disini baik-baik
saja” aku baru sadar suara Tante Tiara hampir mirip dengan suara Bunda.
“alhamdulillah klo gitu Tante.
Salam buat Indra dan Winda yah” aku bersiap mengakhiri telepon.
“rin..”
“iya Tante..”
“aku titip kedua adikmu yah.
Jaga mereka baik-baik” suara di ujung sana membuatku kaget.
“maksudnya Tante ?”
“tuuuuut....”
Ada apa dengan Tante Rani ?
tapi, suara tadi seperti suara Bunda. Aku menelpon lagi.
“iya kak... ada apa ?” indra
mengangkat telepon.
“mana Tante Tiara ?”
“Tante Tiara dari tadi tidur di kamarnya kak, ini ponselnya aku
ambil di meja ruang tengah”
Aku menutup teleponnya. Bunda ?
itu suara Bunda? Benar. Tadi itu bukan Tante rani, itu Bunda. Tapi apa benar
itu Bunda ? Aku pusing.
Apa maksud perkataan Bunda tadi
?
Apa Bunda ingin aku ada di
samping adik-adikku ? Bunda ingin aku yang menjaga mereka? Firasatku berkata
benar itu pesan dari Bunda. Tapi akal
sehatku tidak mau mengalah dengan hal gaib seperti itu. Bunda sudah tenang di
sisi-Nya. Untuk apa Bunda kembali dan mengatakan itu padaku.
Tiga hari aku berpikir. Dan fine, aku pulang sekarang. Tante dan
adik-adikku sempat kaget dengan kedatanganku. Kujelaskan semuanya pada mereka.
Tentang pesan yang Bunda sampaikan padaku. Meski tidak percaya, tapi mereka
memaklumi.
Maka jadilah sekarang. Aku
kuliah di universitas tidak jauh dari rumahku. Menjadi sekretaris Badan
Eksekutif Mahasiswa sekaligus asisten dosen. Dan aku tidak akan pernah lupa
pesan Bunda di awal agustus. Dengan segenap raga dan jiwaku, kedua adikku ada
dalam penjagaan dan lindunganku. Aku sayang Bunda.