Rabu, 23 April 2014

Mereka Pena dan Aku Mata

 
http://penulis165.esq-news.com/2013/artikel/09/03/mata-pena.html
Aku terkadang bingung, bagaimana pikir mereka dapat mengalirkan kata. Merangkai kalimat dengan begitu mudahnya. Memilah-milih diksi yang pas dan kemudian membuatnya ke dalam suatu tulisan, puisi, cerpen, novel, dan apapun. Kata-kata mereka mengalir apa adanya, tanpa beban, tanpa sekat. Seperti air, seperti sungai, yang bahkan ketika tiba di laut, kata itu masih saja bergerak, terbawa ombak, dibelai angin. ya, kata mereka terasa dinamis,mistis.

Sering bacaku menjelajah ke dalam kata-kata mereka. melalui cerpen, puisi, novel, ataupun blog-blognya. selalu saja kutemukan diriku, dalam pikir yang terhipnotis dengan alur yang mereka ciptakan. dalam detik, menit, atau jam kemudian aku tersadar, kata-kata mereka telah masuk, mengendap, kalaupun menguap, selalu ada bekas yang tertinggal. Membuat goresan kecil.

Aku masih bingung dengan mereka. dengan segala kejutan yang mereka ciptakan. apa yang mereka makan? buku-buku kah? pena kah? Aku percaya mereka masih waras. Sama sepertiku, seperti kita, kalian. Hanya saja mereka cuma terbiasa dengan segala itu, pikirku. Meluangkan waktu sejenak bertamu pada kata, berjumpa dengan makna, kemudian asyik mencipta alur-alur yang cuma mereka pahami sendiri-pada awalnya.

Saat itu, mereka menjelma sebuah pena, dengan tinta pelangi, dengan ujung yang penuh penasaran. Kemudian, buku adalah apa yang mereka pijak, tanah mereka. Tempat bermain, bersenda gurau, dengan kata dan sahabat-sahabatnya. Imajinasi mereka adalah kelerang, kayu, luncuran, kartu, kucing, dan apapun yang bebas mereka mainkan. Sesuka hati, sesuka mereka.Pikir mereka pun adalah apa yang mereka ucapkan, kebahagiaan yang spontan terlontar, kebebasan tanpa batas. Dan, pada akhirnya, hati mereka lah menjadi seorang kakak. kakak yang senantiasa mengawasi serta mengingatkan ketika mereka bermain terlampau jauh. Seorang kakak yang selalu ada, ketika mereka terjatuh dan sulit bangkit. 

Lalu, apa aku juga harus membiasakan diri dengan segala itu. Dengan dunia mereka, yang belum sepenuhnya aku pahami betul. Sekedar melirik pun, mungkin aku lebih memilih menutup mata. Dunia mereka terlalu indah, terlalu misterius, terlalu mistis. Sedang duniaku, terkekang dalam realistik kaku, keras saperti batu. Imajinasi malah enggan menyatu, atau pun sekedar bertamu di penghujung waktu. Sulit. Sulit diriku menjadi sebuah pena. Aku hanya bisa jadi mata, membaca dan mengagumi kata yang mereka cipta. kemudian, ketika kelopakku tertutup, yang tersisa hanya goresan kecil, lebih kecil mungkin. Dan, saat aku menutup untuk waktu yang lama, yang tersisa hanya sepi, sunyi.

Wahai mereka, ajak aku kedunia yang mereka cipta sendiri. Atau, kalaupun mereka enggan, setidaknya biarkan aku jadi mata. Mata hati mereka, mata kaki mereka, mata pena.

Bintaro, April 2014
Beberapa menit setelah menjelajah makna.

Sabtu, 19 April 2014

Peduli




Disini panas kawan tapi tubuhku rasa gigil
kau juga gemetar, wajar, kau bilang disini dingin
pikirku bukan karena udara mungkin
Sesuatu yang lain, kan?

Tunggu dulu, nanti sajalah kau
aku pun bingung sendiri pada
diriku, pada  tubuhku

Lalu, apa aku harus peduli
padamu, padaku?
terlalu banyak masalah, terlalu banyak kendala
dan aku hanya satu pikir, kau pun
begitu hanya satu
mereka juga begitu

Jadi untuk apa?
aku pusing dengan masalahmu
dengan tubuhmu, dengan mereka?
aku punya pikirku sendiri untuk
hidupku sendiri, bukan kau, bukan mereka

Mungkin seperti itu
mereka di gedung-gedung
“Aku punya pikirku sendiri untuk
hidupku sendiri, bukan kau, bukan mereka” 
dia sibuk sendiri disitu

Panggung

 



Aku lihat bayangku di atas

        panggung berdiri bermain

             nada dan tekad tapi



Sungguh

Itu bukan aku, bukan



Dia adalah jejakku, mungkin

        adalah sesuatuku yang sudah

             aku lupa atau bukan itu

                  tapi mereka derap langkah impiku



                 Melodi angan nyataku tapi

            kau bisa liat sendiri aku

       hanya diantara lainnya
bertarung tatap, menangkap suara

Cucian




Kau beri kehangatan hingga
aromamu hampir tak ingin
kucumbui, lagi kau ku simpan saja dulu
nanti kau jumpa diriku
mungkin sejam kemudian atau
esok, atau minggu depan

Hanya diam disitu dan aku
dihangatkan yang lain sampai
ia sama sepertimu, bau, disampingmu
disamping yang lain

Kalian aku bawa saja
pada tempat basah itu
aku tinggal kemudian hingga
lupa kalian terdiam, dalam ramai, dalam penuh

Hingga aku datang, enggan
lagi aku cumbu kalian
biarlah, ku serahkan saja
pada mentari beri belaian 
Dan aku tahu, kau 
sama saja seperti dulu

Jumat, 18 April 2014

APA?




Apa bisa dinding di belakangku
Mengetuk pintu disampingku
Atau bangunkan lantai di bawahku
Atau berbisik pada langit-langit di atasku?

Apa bisa tanah berkata sedikit
Pada hujan yang menimpanya
Atau pada kaki yang menginjaknya
Atau pada tikus yang mengaisnya?

Yah.. 
Apa bisa garuda mengadu?
Dari puisi kosong gedung dan langit itu
Atas acuh buku yang diam bisu
Dari rintih tanah berdebu...

Bintaro, 19 April 2014

D.I.A




Dia, iya dia

Yang aku lukai perasaanya

Dia hanya terdiam dan aku

Tak tahu perasaanya

Dia hanya menatap

Yang lain, orang-orang di sekitar

Dia, lalu sedikit bergumam dan aku

Tak tahu gumamnya, lalu

Aku pergi tingggalkan sepi

Ke hati lain yang belum tersakiti


Dan, aku masih tak peduli hatinya yang sedih