Lagi, hujan bertamu pada tanah Bintaro
Seperti hujan kemarin, dan kemarin lagi
Sedang aku tengah sendiri di kamar, Berbaring letih
penat dengan hitungan rupiah dan seragam berkerah
berbaring sejenak lalu
Sayu, menatap hujan yang bermain bersama angin
Serpih-serpih darinya bergelantungan manja di balik jendela
Perlahan meluncur jatuh tanpa suara
Sedang yang lain terjun bebas, bersatu dengan rintik-rintik
Rintik-rintik yang selalu ku kenali
Dari kata-kata yang mereka buat dalam sepi
Hujan memang selalu seperti ini
Datang saat hati bimbang, bingung meliputi
Pada laku-laku yang telah lalu
Dan mereka seakan tak tahu
Padahal jelas dilihatnya detik demi detik berlalu
Lalu mereka tetap saja pura-pura tak tahu
Dingin, aku menutup mata tapi tak tidur
Seperti kemarin-kemarin, ku dengar kembali
Diam, tenang, hujan tengah bercerita banyak sekali
Dalam bahasa yang bisa dimengerti lubuk hati
Seperti biasa, hujan membicarakan hari-hari
Yang mereka lalui, lihat sendiri, tentang bumi pertiwi
Sejak dulu hingga kini tentang manusia-manusia dalam negeri
Menjadi saksi atas laku bangsa ini
Dalam deret waktu, tempat, dan bentuk yang mereka jelmai
Dengar, hujan bercerita
Ketika dirinya menjelma air di gelas-gelas
Dalam gedung-gedung dan kantor-kantor berkelas
Di atas meja orang-orang berdasi atau berbaju dinas
Di depan perundingan, permainan masa depan negeri culas
Dari rupiah-rupiah yang hanya diam meski diperas
Sedemikian rupa, dan senyum mereka merekah sungguh puas
Dengar, hujan bercerita
Ketika dirinya menjelma air di genangan jalan-jalan
Terpercik, terinjak kaki-kaki, roda, dan ban kendaraan
Tapi tak masalah baginya, hujan masih tahan
Hanya saja hujan kembali menyaksikan
Rupiah-rupiah bisu yang sedang dipermainkan
Dari laku curang puluhan pedagang
Menjual mulut dan menipu timbang-timbangan
Pembeli pulang dengan kantong lebih ringan
Dengar, hujan bercerita
Ketika dirinya menjelma titik embun di
sudut ruang pendidikan
Tentang terkesannya pada orang-orang di sekolahan
Tentang kagumnya embun pada generasi harapan
Tentang lembar-lembar yang dipuja para pendidik
Bagaimana tidak yang terdidik mengikuti
Dan pulang ke rumah, meminta kepada ibunya yang sama saja
Melapor kepada bapaknya tentang tambahan uang sekolahan
Sedang si bapak kembali berunding di depan gelas-gelas
Di kantor berkelas, bersama rintik-rintik yang akan bercerita lagi
Selalu begitu, berulang terus
Hujan-hujan selalu menjelma di tempat-tempat
Jadi air, jadi genangan, jadi kerigat, jadi darah
Sungai di mata-mata
Menjadi bagian lingkaran setan, begitu panjang
Begitu terus
Kristal air lama mengintip di balik awan sana
Menyimpan rasa tentang kabar ibu pertiwi di bawah
Menanti rintik-rintik menguap, kembali ke peraduan
Membawa cerita-cerita untuk berkisah dengan yang lainnya
Lalu, hujan jatuh bebas, membawa cerita dari uap
Dan membuktikan sendiri bagaimana rupa negeri ini
Apa “rupiah masih sama nasibnya?”
Seperti yang diceritakan uap di atas awan
Seperti yang diceritakan padaku, sore ini, di kamar ini
Akan tiba saatnya mungkin, hujan bercerita tentang kita
Saat rupiah sudah kita pertangggung jawabkan
Demi negara, demi bangsa
Aku sendiri tak mau, tak mau lagi, hujan bercerita tentangku
Tentang yang ku lakukan kemarin, aku malu pada hujan, malu padaku
Seperti yang diceritakan uap di atas awan itu
Seperti yang diceritakan padaku, sore ini, di kamarku