Kamis, 23 Oktober 2014

Tentang Kayu dan Api yang Melahap

 


Ini tentang imaji yang pernah kau buatkan padaku
di sebuah rumah antara masjid dan kuburan yang hanya
terpisah angan-angan. 


Di masa kecil

Coba kau ceritakan lagi padaku kali ini
semuanya, tentang bagaimana panasnya kayu yang dibakar
di depan ribuan manusia yang menganga
tentang api yang meluap-luap merah menyala di mata para pendosa, di depan Namrudz
menentang pembawa risalah suci dari Yang Maha Suci


“Dirikanlah sebuah bangunan untuk (membakar Ibrahim),
lalu lemparkanlah dia kedalam api yang menyala-nyala itu.”

Berapa lama api membakar Beliau hingga sang Tuhan
memberi perintah lain pada kayu dan api yang berpesta
kala itu. 


“Wahai api, Jadilah dingin dan beri keselamatan atas Ibrahim”

Lalu kulihat kau sudah terkenal rupanya tentu
dengan obsesi dan imaji yang kau bagikan pada masa kecil
di koran fotomu terpajang, bersama api, namun kau hitam legam
dimakan ceritamu, menjadi serupa beliau, padahal kau tahu pasti
cuma nya diberi keajaiban itu, dan aku melipat lembarnya, mendoakanmu selalu


Bintaro, 20/10/14

Kamis, 16 Oktober 2014

Memilih Jalan Lama





Masih ada kaki-kaki yang kuat memilih mana
yang harus dipergi atau yang harus dibicarai, mana yang
baik dienyah atau baik dimusnah, terserah katamu
karena itu milikmu, milik siapa lagi yang bentuknya seperti itu

Kecuali itu miliknya, jangan begitu, biar dia yang lari dengan kata
katanya terbumbung jenuh di awang, membelai masa
Karena ada kala kita hanya diam memandang yang telah terbang
baur dengan ucap yang pernah berkata dalam diri masing kita
yang selalu berjalan lama, mengurai jejak-jejak semu 

Kembali memilah-milih jemari mana yang menunjuk jalan (mungkin)
pulang, menunjuk jalan di depan yang tak pasti tujunya
Biarkan dia berkutat pada masanya, yang dia senangi
berlarut-larut terkenang dunianya yang lama sudah
dia tinggalkan, sudah lama sekali

Jika kaki-kakinya memilih mana jalan yang dia
bumbungkan pada awang, terserah katanya, Kau dan Aku
bawa saja kata kita kemana ibu jari bertitah

Bintaro, 17/10/14

Selasa, 14 Oktober 2014

Hanya Mereka yang Tahu kapan Kau Harus Pulang




Sudah berlama-lama angin malam menerawang atap-atap
Mengadu letih tertatih merintih menatap
Pada jalan-jalan depan pagar dan pekarangan
Juga pada gugah cerita yang selalu mereka bagi
Bermalam-malam, sampai mimpi bawa semua pergi


Jika kau ingin meminta langit didekatkan
Langit hujan, langit gemuruh biar pergi
Karena ada saatnya semua kembali lagi
jadi bagian asal, bagian awal
Hidup bukan sekedar mencari rupa bentuk
Tapi bagaimana bisa mencari siapa diri


Sudah berlama-lama dingin, membeku di ranah lain
Maka lupalah kemana tuju yang kau pergi
Pulanglah,,, Karena kau bukan atap, untuk yang lain
Kembali,,, cair, jatuh pada pengaduan masa kecil
Biarkan cerita kau dengar lagi, berkali-kali
Temui pagar dan pekarangan, dan bawa mimpi bersamanya
Dan kabari langit, langin hujan dan gemuruh.

Suruh mereka datang lagi, jangan sekarang tapi
Biar nanti, setelah mimpi-mimpi


Bintaro, 13/10/14

Sabtu, 11 Oktober 2014

Ada yang Harus Memilih



Sudah hukum alam, atau hukum siapa
selalu ada yang terdiam dalam ramai
pasti ada yang riuh dalam sepi
dan orang-orang yang gelisah dalam kumpulan
ingin segera berakhir waktu-waktu
kembali ke ruangnya, bersama teman sesungguh

Ada mata yang kosong, memandang hening
Dalam kumpulan mata menyipit, berair mata
berubah dalam bahak-bahak ramai
Mata kosong, melihat dahi-dahi mengerut
tapi dahinya tetap kosong, kadang bergaris tak mengerti
apapun yang jadi kumpulan

Ada orang yang menepi saja lalu
memilih tidak jadi bagian dari mata dan dahi
mereka tidak sekedar diam, cuma terlihatnya itu
mata dahi gelisah ingin berakhir waktu-waktu
ke lingkar luar, bergabung dengan kawan sungguh 
Dan menjadi mata-dahi yang dia pandang dulu

Sudah hukum alam, atau hukum siapa
Ada orang yang harus memilih dimana
menjadi dirinya atau bukan dia

Bintaro, 12/10/14

Seperti itu

Harus ada yang hilang mungkin
dari kata-kata yang selama ini kau bicarakan
karena bukan seperti itu yang kita pernah sepakati bersama
karena bukan seperti itu kata yang kita gandengkan berdua

Ini belum sesempurna kiraan-kiraan kita